Suatu sore
ketika aku mengasuh Wulan—anakku yang berusia setahun di depan rumah. Terdapat
dua anak lelaki berusia sekitar 5 tahun sedang bermain. Ketika sedang
mengawasi Wulan yang tengah merambati kursi. Tiba-tiba salah satu anak tersebut
mengambil paksa mainan dari temannya. Tidak ingin mainan direbut, anak satunya
kembali menarik. Adu tarik mainan pun tidak terelakkan. Hingga salah satu anak
menggigit lengan temannya. Anak yang digigit melepaskan mainan dan menangis.
Kejadian
itu sangat cepat hingga aku tak cukup waktu melerai pertengkaran mereka. Suara
tangis membuat sang ibu anak tersebut keluar rumah dan menghampiri mereka.
Melihat anaknya terluka, sang ibu murka. Tanpa bertanya apapun kepadaku dia
memukul anak yang telah menggigit anaknya seraya berkoar seolah hakim paling
benar.
Tak berapa
lama. Sang ibu dari anak yang di pukul datang dan tidak terima anaknya diperlakukan
seperti itu. Keadaan semakin gaduh. Selain suara dua anak yang menangis. Kini kedua
ibu dari anak-anak tersebut saling sahut, memaki, menghardik, dan mengumpat.
Tak peduli kalau mereka menjadi tontonan warga. Percekcokan bukan lagi hanya
persoalan anak-anak, melainkan merambat ke masalah lainnya. Mungkin, sebenarnya
mereka adalah sepasang musuh yang menunggu momen untuk menyulut pertengkaran.
“Lebih baik Wulan dinakalin daripada dia nakal dan aku
di datangi orang tua temannya yang tidak terima,” kataku dalam hati.
***
Suatu hari
ketika Wulan sudah memasuki pra sekolah. Wulan menghubungiku yang tengah
bekerja melalui panggilan video. Dia menangis, terisak dan sesekali menyeka
ingus.
Mungin, dia terluka karena jatuh, pikirku. Namun, tiba-tiba Wulan mendekatkan
kamera ke area lengannya. Lukanya masih baru dan terlihat kemerahan, tapi berbekas seperti deretan gigi.
“Eh, itu kenapa?”
tanyaku terkejut.
“Digigit,
hu-hu-hu.” Dia kembali menangis.
“Mama kira
kamu terluka karena jatuh. Siapa yang gigit kamu?”
"Hu-hu-hu-hu,"
bukannya menjawab dia malah menangis kian keras.
"Yaudah
obatin dulu pake minyak obat. Ambil di kamar, HP-nya kasih Nenek dulu."
Wulan
bergegas ke kamar mengambil minyak yang
dapat mengobati bermacam luka. Sehingga dia menyebutnya minyak obat.
Mengalirlah cerita dari Mama tentang insiden yang baru saja terjadi di sekolahnya.
Dia digigit teman sekolah karena saling rebut mainan. Aku terkesiap, seolah
insiden tersebut pernah aku saksikan atau pernah mengikrarkan sesuatu tentang
hal serupa. Namun, kapan dan dimana. Entahlah, tidak usah dipikirkan. Sekarang
aku harus mencari tahu penyebab anakku digigit terlebih dahulu.
"Assalamuallaikum, Ibu Guru," salamku ketika telepon tersambung.
“Walaikumsalam,
Mama Wulan. Tadinya saya mau telepon bakda zuhur. Eh, Mama Wulan sudah telepon
duluan,” ujar Ibu Guru di seberang telepon.
“Owalah,
saya ngeduluin, ya, Bu, he-he-he.”
“Soal
masalah hari ini, sebelumnya saya minta maaf ya, Mah. Tadi Wulan dan Za sedang
main di luar kelas, nunggu jemputan. Sementara, saya sedang merapihkan kelas di
dalam. Tiba-tiba mereka bertengkar saling rebut bola dan tau-tau Za gigit
Wulan. Sekali lagi saya minta maaf atas kurangnya pengawasan kepada anak-anak.”
“Iya, Bu,
tidak apa-apa. Saya hanya ingin tau kronologis kejadiannya saja. Tadi kaget,
tiba-tiba Wulan menghubungi saya sambil nangis dan nunjukin luka gigitan.”
“Si Za,
anaknya memang kurang suka berbagi mainan dengan teman-temannya. Wulan
tangannya gimana, Mah,”
“Cuma luka
gigit gitu aja sih, Bu. Berapa menit lagi juga hilang. Yaudah, Bu, kalau gitu
saya pamit kerja lagi, assalamuallaikum.”
“Iya,
Mah, walaikumsalam.”
***
Sesampainya
aku di rumah. Wulan kembali mengadu. Menunjukkan lengan yang digigit temannya.
Luka gigit tersebut sudah hilang dan tidak berbekas. Hanya saja, dia masih
kesal dan ingin melampiaskannya kepadaku.
“Za, jaat,
gigit Wuyan!” serunya.
“Loh,
bukannya Za teman baik Wulan?”
“Za, gigit
Wuyan, Ma, dia jaat!”
“Coba sini
lihat tangan Wulan, wah ... udah sembuh nih,” ujarku seraya memangkunya. “Mama
dengar, katanya kamu merebut mainan punya Za?” lanjutku bertanya.
“Wuyan mo
pinjam, Ma.”
“Oh ...
kamu mau pinjam, tapi Za, gak kasih?”
“Za, jaat.”
“Wulan
tidak boleh maksa kalau Za tidak mau kasih mainannya.”
“Yapi, kan,
Wuyan mo main juga, Ma.”
“Wulan main
yang lain aja, kan di sekolah mainannya banyak. Nanti kalau Za, udah bosan, dia
pasti kasih ke Wulan. Kalau kamu maksa jadinya digigit gini,” jelasku. “Wulan
mau maafin, Za, gak?” tanyaku.
Dia tidak
menjawab pertanyaanku. Wajahnya cembetut. Masih teringat jelas ketika Za menggigit
lengannya hinga terluka.
“Hei ...
kok bengong. Bukannya jawab,” tuturku seraya tersenyum. “Wulan masih sekolah
bareng sama Za. Ketemu setiap hari. Wulan harus maafin biar bisa belajar dan main bersama
lagi. Za, kan suka bantuin Wulan ngerjain tugas, terus suka kasih makanan juga, kadang Wulan diantar pulang sama ayahnya Za. Iya, gak.”
“Yapi, Za hayus minta maaf ma Wuyan!” serunya.
“Oh ...
gitu, ok. Nanti Mama bilang ke Bundanya Za. Besok di sekolah Za harus minta
maaf ke Wulan.”
“Za, minta
maaf begini, nih.” Wulan menunjukkan satu jari kelingkingnya dan menautkan jari
kelingking milikku
“Oh ...
minta maafnya gitu. Ok, ok, Mama kasih tau Bundanya Za, tapi Mama izin rekam
cara minta maaf yang tadi Wulan tunjukin, ya.”
Wulan termasuk anak yang tidak suka diajak berswafoto. Hasilnya tidak akan pernah bagus kalau di foto tanpa persetujuan darinya. Oleh karena itu aku harus meminta izin sebelum mengambil gambar atau video. Ketika kamera sudah bersiap, dia mulai mengulang cara meminta maaf versi Wulan. Tak lama kemudian ada panggilan masuk. Ternyata dari Bundanya Za yang menyampaikan permintaan maaf atas perbuatan anaknya.
“Mama Wulan
... saya minta maaf ya ... tadi siang Za gigit Wulan. Itu, anaknya udah saya
omelin dan dipukul.”
“Jangan
dipukul Bund, kasian ... lagian ini cuma masalah kecil. Namanya juga anak-anak,
Bund.”
“Wulan
lukanya gimana, Ma?”
“Udah
sembuh kok, Bund. Udah gak ada bekasnya, tapi masih kesal dikit dengan Za. Dia
minta, besok Za minta maaf di sekolah pakai cara dia. Bentar, Bund, saya kirim
videonya, ya.”
“Owalah,
Wulan ada-ada aja. Nanti saya kasih unjuk videonya sama Za. Biar besok dia
minta maaf sama Wulan di sekolah.”
Pertengkaran anak pun terselesaikan dengan damai. Tanpa keributan tanpa melibatkan emosi para orang tua. Siklus anak-anak yang memasuki usia pra sekolah memang seperti itu, main, bertengkar, dan main bersama lagi. Jika orang tua tersulut hanya dengan pertengkaran anak, akan jadi runyam. Anak sudah kembali bermain bersama, tapi orang tua masih menyimpan benci.
Tidak ada yang salah dalam pertengkaran anak-anak. Bahkan dari pertengkaran seperti itu, anak jadi belajar caranya berbagi, memaafkan, atau bersabar nunggu antrian main. Sebagai orang tua aku harus lebih bijak menyikapi pertengkaran anak.
Penulis: Dwinov Swa
No comments: